Di tengah-tengah suasana penjajahan Belanda yang menjadikan kehidupan
seluruh rakyat berada dalam kesulitan, terlahirlah seorang bayi mungil
pertama dari pasangan suami istri Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini yang
diberi nama Muhammad Syafi’i pada tanggal 31 Januari 1931 M. bertepatan
dengan 12 Ramadhan 1349 H. di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Ayah
Syafi’i adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal adari
daerah Citeureup Bogor. Ayahnya adalah seorang pekerja pada perusahaan
minyak asing di Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian, setelah Syafi’i
lahir, ayahnya pulang ke kampung halaman dan tidak pernah kembali lagi
bekerja di perusahaan minyak asing. Ayahnya kemudian bekerja sebagai
penarik bendi.
Ulama Betawi ini sejak kecil di asuh oleh
kakeknya dari pihak ayah, yang merupakan seorang guru agama yang tinggal
di daerah Batu Tulis XIII, Pecenongan yang bernama guru Husin.
Karenanya, Syafi’i kecil juga didik sebagai guru agama. Kakeknya ini
adalah seorang pensiunan pegawai percetakan yang tidak memiliki anak,
sehingga sebenarnya, ia bukanlah kakek langsung, melainkan paman dari
ayah Syafi’i. dengan demikian ia memiliki banyak waktu untuk mendidik
syafi’i mengaji bersama dengan teman-temannya di samping berdagang
kecil-kecilan untuki mengisi waktu senggang. Dari sini terlihat bahwa
Syafi’i adalah anak yang cerdas dan ulet, ia tidak suka menyia-nyiakan
waktunya hanya untuk bersantai-santai saja.
Kakeknya ini sangat
keras dalam mendidik anak-anak, sehingga dalam usia Sembilan tahun,
Syafi’i telah berhasil menghatamkan al-Qur’an. Sejak kecil Syafi’i tidak
pernah mengalami benturan dengan kakeknya. Meskipun kakeknya ini adalah
orang kaya dan pensiunan pegawai percetakan, namun ia sama sekali tidak
pernah mencita-citakan cucunya kelak menjadi seorang pegawai juga.
Karenanya, kakeknya selalu mengajak Syafi’i ke tempat-tempat pengajian,
kemana pun kakeknya ini mengaji. Sebagai seorang guru ngaji, kakeknya
juga menginginkan cucunya belajar mengaji dan bergulat di bidang agama.
Sehingga teman-teman dan guru-guru kakeknya, secara otomatis juga
menjadi guru langsung dari Syafi’i muda. Di antara teman-teman kakeknya
ini adalah, Guru Abdul Fatah yang tinggal di daerah Batu Tulis. Juga
kepada Bapak Sholihin di Musholla kakeknya, sehingga Musholla tempatnya
mengaji ini kemudian dinamakan dengan Raudhatus Sholihin.
*Menikah dan Terus Belajar*Sebagaimana kebiasaan masyarakat Betawi pada
waktu itu, bahkan masyarakat Indonesia pada umumnya, maka Syafi’i juga
menikah di usia muda, yakni tujuh belas tahun. Syafi’i menikahi gadis
teman sepermainannya di Batu Tulis, seorang gadis bernama Nonon. Ketika
menikah Syafi’i telah mengikuti neneknya pindah ke kawasan Kemayoran
sepeninggal kakeknya.
Syafi’i yang sejak kecil memang sangat
gigih dalam menuntut ilmu dan menjalani hidup yang serba dibatasi dalam
didikan kakeknya, tek menjadikan pernikahan sebagai hambatan untuk terus
mencari ilmu. Syafi’i menamatkan sekolah dasar pada tahun 1942 M. dan
setelah kemerdekaan ia bekerja sebagai karyawan di RRI. Karena ia juga
selalu membawa-bawa kitab-kitab bacaannya, maka ruang kerjanya yang di
RRI juga berfungsi sebagai tempat muthala’ah.Karena telah dewasa dan
memiliki cukup ilmu, maka selain bekerja dan berumah tangga, Syafi’i
juga mulai mengajar secara resmi. Berangsur-angsur kemudian ia sering
dipanggil sebagai Muallim syafi’i, yang berarti Guru Syafi’i. Namun
bukan berarti setelah mulai mengajar, ia berhenti berguru dan mengaji.
Muallim Syafi’i tetap merupakan pribadi yang tawadhu’ dan senantiasa
giat menuntut ilmu. Karenanya, ia tetap memiliki banyak guru yang aktif
menyampaikan ilmu-ilmu agama kepadaya, selain telah mulai memiliki
banyak murid.
Muallim Syafi’i panggilan tersebut akrab di
telinga murid-murid beliau.Kedalaman ilmu serta ketawadhuan beliau
memang pantas rasanya bila KH.Syafi’i Hadzami mendapat julukan Muallim
Jakarta, sejak muda beliau gemar sekali menuntut ilmu dan tak pernah
merasa puas terhadap ilmu yang beliau miliki, maka tak heran bila beliau
menguasai beberapa fan ilmu seperti Ilmu Fiqih, ilmu Falaq, ilmu Hadist
, Ilmu Tauhid dan berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya. Salah satu Guru
beliau yang sangat beliau Hormati adalah Syech Muhammad Yasin bin Isa Al
Fadani seorang Ulama terkemuka dari Mekkah yang bergelar Musnidud
Dunya, dan guru- guru beliau lainnya adalahKyai Husain, KH. Abdul
Fattah, Ustaz Sholihin,Habib Ali Bungur, Habib Ali alhabsyi kwitang K.H.
Ya’qub Sa`idi, .
Sejak awal, Muallim Syafi’i Hadzami telah
mengajar ke berbagai majlis ta’lim. Pada TAHUNA 1963, pada usia 32
tahun, Beliau membentuk sebuah Badan Musyawarah Majlis Ta’lim (BMMT)
yang diberi nama al-’Asyirotus Syafi’iyyah. Badan ini kemudian
berkembang menjadi sebuah Yayasan pada tahun 1975 yang mampu mendirikan
sebuah komplek pesantren di kampung Dukuh, kebayoran lama, Jakarta
Selatan. Pesantren ini kemudian berkembang mejadi sebuah lembaga
pendidikan yang berhasil mengelola pendidikan dari tingkat TK hingga
Aliyah. Di komplek pesantren inilah kemudian Muallim Syafi’i tinggal
sepanjang usianya. Namun demikian pengajian-pengajian ke berbagai
penjuru Jakarta tetap dilakoninya sepanjang hidup. Bahkan hampir-hampir
tiada waktu luang untuk sekedar bersantai, karena kalaupun Muallim
sedang tidak mengajar, maka Beliau pasti sedang Muthola’ah. Hal ini
dikarenakan sedemikian cinta beliau kepada ilmu-ilmu agama. Bahkan
karena cintanya ini, ruang tamu di rumahnya pun lebih mirip sebagai
perpustakaan.
Gaya bicaranya datar-datar saja namun tertib dan
jelas, cara berpakaiannya yang wajar-wajar saja, dan sikapnya yang
tenang, serta pembawaannya yang sederhana, menjadikan Muallim disegani
oleh seluruh ulama di betawi, baik dari kalangan habaib maupun para
ulama Betawi Asli. Hal ini terutama sekali dikarenakan sikap Beliau yang
sangat teguh dalam memegang prinsip-prinsip agama. Selain itu Muallim
Syafi’i Hadzami juga terkenal sangat rendah hati dan mencintai para
muridnya.
Menurut KH. Rodhi Sholeh, salah seorang Mustasyar
PBNU yang mengenal Muallim Syafi’i Hadzami ini dalam sebuah pengajian di
PWNU DKI Jakarta, Muallim Syafi’i Hadzami adalah sosok guru yang tidak
suka menyombongkan diri meskipun Beliau sangat alim. Banyak orang-orang
dari daerah yang merasa telah menjadi Betawi setelah kenal dengan
beliau, karena Beliau sama sekali tidaklah membedakan mana orang-orang
pendatang dari daerah dan mana orang-orang asli Jakarta.
Sementara KH. Irvan Zidni yang mengaku sering bertemu langsung di
forum-forum Batsul Masail Muktamar PBNU mengakui bahwa Muallim Syafi’i
Hadzami memberi bobot yang berbeda kepada ulama-ulama asal Jakarta,
karena dalam forum-forum seperti itu, memang biasanya pendapat mereka
sering ditolak. Namun keberadaan Muallim Syafi’i Hadzami mampu menepis
kebiasaan ini. Muallim memang memiliki kemampuan keilmuan yang cukup
untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya. Dalam arena batsul masail,
kemampuannya sebanding dengan para ulama dari daerah-daerah lain yang
sedari kecil menuntut ilmu di pesantren selama puluhan tahun, sehingga
sangatlah sukar untuk meruntuhkan argumen-argumen Beliau.
Adapun gelar Hadzami diberikan oleh guru-guru dan para Ulama karena
kedalaman ilmu yang beliau miliki dalam memahami serta menjelaskan
masalah-masalah yang tergolong rumit untuk dipahami dan Muallim Syafi’i
dengan mudah menjelaskan masalah-masalah tersebut dengan berbagai sumber
referensi yang beliau miliki. Muallim Syafi’i mengajar dibeberapa
majlis ta’lim di Jakarta bahkan menurut penuturan murid beliau sebelum
meninggalpun Muallim Syafi’i Hadzami masih sempat mengajar di Masjid
Ni’matul Ittihad pondok pinang jakarta selatan,Majlis -majlis ta’limnya
tak pernah sepi selalu dipadati oleh jamaah yang berasal dari berbagai
kawasan Jabotabek bukan hanya dari kalangan umum saja yang mendatangi
majlis beliau bahkan Para Ulama serta para Asaatidz turut hadir dalam
menimba ilmu dari beliau. Waktu yang begitu berharga tidak beliau
sia-siakan untuk hal hal yang tidak berguna, beliau pergunakan seluruh
waktunya untuk mengajar dan membimbing umat, dan salah satu bentuk
ketawadhuan beliau adalah beliau selalu menganggap guru terhadap para
ulama dan para Habaib walaupun kapasitas keilmuan yang beliau miliki
melebihi para ulama dimasanya. Beliau tekun selalu membaca dan menelaah
kitab-kitab, karya beliau yang termashur adalah Kitab Al Hujjalul
Bayyinah , Kitab Sullamul’arsy fi Qiraat Warasy yang berisi tentang
Kaedah Bacaan Alquran Imam Warasy,Kitab Taudhihul Adillah , 100 masalah
Agama,Risalah sholat tarawih, risalah Qoblyah Jum’at.
*Muallim
dan Kitab Kuning*Hingga usia senjanya, hari-hari Muallim Syafi’i Hadzami
senantiasa diisi dengan mengajar berpindah-pindah, dari satu majlis
ta’lim ke majlis ta’lim lain. Meskipun lembaga pendidikan yang
didirikannya kini telah berkembang dan mapan, namun Beliau senantiasa
membagi waktunya untuk ummat secara merata.
Kenyataan ini
menjadikan hari-hari Muallim senantiasa berjibaku dengan kitab kuning,
sebab pengajian-pengajian Muallim Syafi’i Hadzami tidak pernah lepas
dari kitab kuning. Di sini Beliau tampak menekankan betapa
tradisionalisme adalah sebuah watak perjuangan yang tidak boleh
ditinggalkan begitu saja.Dalam pandangan Muallim, kitab kuning merupakan
dasar bagi pemahaman umat Islam untuk memahami sumber hukum asal
syariat.
Ini berarti bahwa dalam pandangan Syafi’i Hadzami,
sebuah kesalahan fatal apabila mencoba memahami al-Qur’an dan hadits
secara langsung tanpa mengerti pandangan dari para ulama terlebih
dahulu. Syafi’i Hadzami meyakini bahwa kitab kuning masih selalu relevan
dan selalu menawarkan hal-hal baru bagi masyarakat Muslim. Hal ini
tentu saja menunjukkan bahwa Muallim Syafi’i sangat mengikuti
perkembangan kitab kuning. Artinya pembacaan dan oleksi kitab-kitab
kuningnya boleh dibilang up to date. Memang Muallim Syafi’i Hadzami
sangat banyak mengoleksi kitab-kitab kuning yang beraneka ragam, mulai
klasik, modern hingga kontemporer.
Karena telah mengenyam manfaat
yang demikian besar dari kitab kuning, maka Muallim memiliki kiat-kiat
jitu untuk dapat menguasai kitab kuning dengan benar, dengan arti yang
sebenarnya. Menurut Muallim, hal pertama-tama yang semestinya dilakukan
oleh para santri yang mempelajari kitab kuning adalah menguasai
ilmu-ilmu alat, hingga masalah yang sekecil-kecilnya. Ini berarti
seorang pembaca kitab kuning haruslah memahami lughat. Artinya harus
mengenal lughat yg berbeda-beda, serta harus memiliki rasa penasaran
yang tinggi kepada ilmu-ilmu perbandingan madzhab, sehingga tidak kaku
dalam memberikan fatwa atau memandang suatu permasalahan hukum.
Hal ini jelas sangat terlihat dari aktivitas-aktivitas muallaim yang
bukan hanya di MUI DKI Jakarta saja, melainkan juga di NU. Muallaim
sangat rajin menghadiri batsul masail-batsul masail, dan rapat
pleno-rapat pleno yang diadakan oleh PBNU, terutama yang diadakan di
Jakarta. Hingga pada muktamar NU ke 29 di Cipasung, Tasikmalaya, Muallim
Syafi’i Hadzami dipercaya menjadi salah satu Rois Suriah PBNU. Hal ini
tentu saja merupakan pengakuan keilmuan dan keulamaan dari NU mengingat
jarang sekali ada ulama dari Batawi yang dipercaya untuk menduduki
posisi ini.
Karisma keulamaan dalam diri Muallim Syafi’i
Hadzami memancar bukan hanya di Indonesia. Kedalaman ilmu Muallim juga
dikenal hingga Mekkah dan Hadramaut. Hal ini nampak dari seringnya
muallim mendapat kunjungan dari beberapa ulama dan para Habaib dari
Hadramaut.
Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad, tepatnya
tanggal 07 mei 2006 M. Muallaim Syafi’I Hadzami merasakan nyeri di dada
dan sesak napas. Muallim berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan
menuju ke Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP). Linangan air mata mengalir
mengantarkan kepergian sang guru yang sangat dicintai oleh seluruh
penduduk Jakarta
sumber : http://basaudan.wordpress.com
Posted in: biografi ulama jakarta






0 comments:
Post a Comment